Rabu, 21 Desember 2016

ALAT YANG DIPERLUKAN UNTUK MENCARI BEKAL

Dari uraian terdahulu, tentu kita sekarang mengerti, bahwa kehidupan di dunia ini haruslah dijadikan arena untuk mengumpulkan pahala. Percuma kita punya harta melimpah atau pun kedudukan yang tinggi bila tidak disertai dengan amal yang berbuah pahala. 

Mengumpulkan pahala ini tidaklah mudah karena nafsu dan setan akan selalu merintangi. Untungnya  Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang melengkapi kita dengan "alat" yang dapat memudahkan pengumpulan bekal akhirat ini. Alat yang dimaksud adalah seluruh fasilitas yang kita miliki, yaitu dapat berupa harta benda, keluarga, pekerjaan, dan lain-lain. Fasilitas ini tentu saja tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus kita cari dengan gigih.


Apabila  telah  ditunaikan  sembahyang,
 maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Al-Jumu'ah (62):10 


"Bersegeralah kamu mencari rezeki, dan
berusahalah mencari keperluan hidup, maka sesungguhnya berpagi-pagi mencari rezeki itu adalah berkat dan keberuntungan."
 Riwayat Ibnu 'Ady dari Aisyah 


Seluruh fasilitas yang kita miliki, pada hakikatnya adalah hanya sarana untuk kelancaran bertaqwa. Dengan demikian, semakin banyak fasilitas yang kita miliki, maka kualitas taqwa kita pun tentunya harus semakin lebih tinggi.



Dengan memiliki banyak uang misalnya, memudahkan kita bersedekah, menolong orang susah, menyantuni anak yatim, membahagiakan orang tua, melaksanakan ibadah haji, dan lain sebagainya.

Dengan memiliki rumah yang asri, taqwa dapat kita jalankan dengan baik. Bagaimana dapat menghasilkan taqwa yang baik kalau kita tinggal di rumah yang sumpek ?


Dengan memiliki kendaraan, maka kita tidak perlu mengeluarkan banyak energi atau pun naik bis yang penuh sesak. Dengan demikian badan kita tetap segar sampai di tujuan. Bagaimana dapat shalat dengan baik kalau badan dan pikiran kita lelah?

Pekerjaan yang kita miliki, termasuk fasilitas untuk melancarkan taqwa juga. Bila kita tidak memiliki pekerjaan atau tiba-tiba dipecat, maka semangat hidup dapat turun, frustrasi dan depresi mental pasti terjadi.  Bagaimana dengan kondisi seperti ini dapat diharap-kan menghasilkan taqwa yang berkualitas baik ?

Pangkat atau kedudukan yang dimiliki juga untuk mempermudah bertaqwa. Dengan pangkat yang tinggi, maka akan memudahkan menghasilkan kualitas taqwa yang lebih baik dibandingkan dengan  pegawai rendahan.

Keluarga (suami / istri dan anak) saqinah yang dimiliki, itu pun merupakan fasilitas untuk melaksanakan taqwa. Mereka dapat menjadi  pelipur lara yang membuat hati menjadi tenteram. Dengan hati yang tenteram tentu akan lebih mudah untuk melaksanakan taqwa.

Bila kita sedang diserang penyakit malas ataupun merasa jenuh, maka renungkanlah sejenak akan tujuan hidup kita di dunia yang fana ini, lalu gunakanlah fasilitas yang kita miliki untuk mengusir kemalasan atau kejenuhan itu.

Jadi jelaslah, fasilitas atau materi yang kita miliki gunanya hanya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan taqwa.

Bila kita telah menghayati hal ini, maka insya Allah kita tidak akan silau oleh materi atau pun kedudukan. Karena sesungguhnya, semua itu dititipkan Allah kepada kita semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan saja.



Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir. Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com

Jumat, 18 November 2016

TEMPAT MENCARI PAHALA



Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul~Nya telah menentukan "aturan main" bagaimana manusia harus bersikap. Misalnya saja, dalam jalur hablum-minnallah manusia diwajibkan shalat; dan dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua "aturan main" ini tertuang lengkap dalam Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah saw. Lihat lampiran 1 Buku Bahan Renungan Kalbu ( halaman 461 ).
Barangsiapa yang dapat tetap patuh melaksanakan "aturan main" ini, dengan niat semata-mata karena Allah, maka ia disebut orang yang bertaqwa. Dan dia akan memperoleh pahala, yang kelak akan dirasakan kenikmatannya di akhirat nanti. Jadi dengan perkataan lain, ladang tempat mencari pahala itu terletak pada jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas, karena pada dua jalur inilah Allah menguji ketaatan manusia mematuhi aturan-aturan yang di-tentukan~Nya dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. "Perlengkapan" ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi nyaman atau pun tidak nyaman ia mampu tetap taat mengikuti "aturan main" yang sudah ditetapkan~Nya atau tidak.

 Simaklah baik-baik surat  Al-Insaan:2, 3  berikut :


Sesungguhnya Kami telah men-
ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
( dengan perintah dan larangan ), karena itu
Kami jadikan dia mendengar dan melihat.  Sesungguhnya Kami telah menunjukinya
jalan yang lurus, ada yang bersyukur
 dan  ada pula yang kafir.
 Al-Insaan (76):2, 3


Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik, atau pun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan~Nya melalui Rasul~Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, "Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu."
Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (misalnya menghadapi orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji, mampu atau tidak kita bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila kita dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan hadits dengan niat  " lillahi ta'ala", maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, berarti kita gagal. 
Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah kita mampu mengatasinya atau tidak. Tidak ada seorangpun manusia yang dibiarkan melalui jalan yang tanpa rintangan. Bahkan para kekasih~Nya sendiri, yaitu para nabi-nabi, melewati jalan yang jauh lebih sulit. Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih putranya sendiri; sementara nabi Ayub dimusnahkan seluruh harta kekayaan dan keturunannya, serta terserang penyakit menular yang sangat menjijikan. Sedangkan nabi Muhammad dilempari kotoran unta dan batu serta diboikot perekonomiannya sehingga beliau dan keluarganya serta para pengikutnya mengalami kelaparan yang amat sangat akibat kekurangan bahan makanan. Namun perlu kita ingat, bila ujian-ujian yang ditemui dalam perjalanan ini berhasil diatasi, maka hal itu akan diperhitungkan Allah sebagai amal saleh, yang kelak akan diganjar dengan pahala. Semakin banyak amal saleh yang kita lakukan, maka akan semakin besar pula peluang kita untuk masuk ke dalam surga. Lihatlah penegasan Allah dalam Al-Qur'an berikut ini :
 

Barangsiapa yang mengerjakan amal-
amal saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka
 itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
An-Nisaa' (4):124



Dan surga itu diberikan kepada kamu
 berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan.
 Az-Zuhruf (43):72



Sesungguhnya orang-orang yang ber-
iman dan beramal saleh, bagi mereka adalah
surga Firdaus menjadi tempat tinggal.  Mereka
kekal di dalamnya, mereka tidak ingin
 berpindah daripadanya.
Al-Kahfi (18):107,108



Dan orang-orang yang beriman
serta beramal saleh, mereka itu penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya.
Al-Baqarah (2):82



Dan orang-orang yang beriman dan me-
ngerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga  .......
 An-Nisaa' (4):57 



Dan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, Kami  tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mere-
ka kekal di dalamnya.


Al-A'raaf (7):42  

Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir.Permadi Alibasyah
Gambar: www.pixabay.com

Kamis, 03 November 2016

TUJUAN HIDUP



Setelah kita memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta "kualitas" berasal dari suatu proses, maka yang perlu kita ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Kesadaran ini sangat penting. Karena seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapakah dirinya itu, dan dari mana ia berasal. Akibatnya, ia akan melangkah ke arah yang keliru.


Sebagaimana telah diuraikan, kehidupan di alam dunia sesungguhnya adalah awal kehidupan bagi manusia. Dan awal kehidupan ini sangat penting, karena bukankah awal yang baik akan membuahkan hasil akhir yang baik pula?


Selanjutnya, dengan memperhatikan firman-firman Allah yang telah dikutip sebelum ini, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia, pada hakikatnya adalah untuk mencari / mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingkat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal itu? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.


Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak. 




Abdullah bin Abbas berkata :

"Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan dunia terdiri atas
 tiga bagian; sebagian bagi mukminin, sebagian bagi
orang munafik, sebagian bagi orang kafir. 
Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, 
orang munafik menjadikannya perhiasan, 
dan orang kafir 
menjadikannya tempat bersenang-senang."


Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir. Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com

Selasa, 25 Oktober 2016

KEBERADAAN MANUSIA MELALUI SUATU PROSES.



Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalui proses yang  bermulai  dari  bentuk air, lalu  menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.








Yang perlu kita sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia atau pun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi tersebut diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, di sekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang.







Tumbuhan pun demikian.  Pemeliharaannya dari sejak kecil  diberi pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama- akan menentukan kualitasnya pada saat ia berbunga atau berbuah nanti.

Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksistensi manusia di akhirat.

Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia.  Jadi jelaslah, kualitas manusia di akhirat nanti, tergantung pada keberhasilan manusia sendiri dalam mengatasi ujian-ujian yang dihadapi, apakah manusia mampu selalu taat mengikuti perintah-perintah~Nya, atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam.



Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul~Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam  surga.  Dan barangsiapa yang men-
durhakai Allah dan Rasul~Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan~Nya, niscaya Allah me-
masukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya,  dan baginya
siksa yang menghinakan.
An-Nisaa' (4):13, 14






Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir. Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com



Jumat, 14 Oktober 2016

UNTUK APA MANUSIA HIDUP DI DUNIA ?




Semua manusia , tanpa terkecuali , pasti akan mati. 


Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia  di alam dunia ini. 


Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, atau berkeluh kesah dalam kemiskinan ....kemudian ia lalu mati tidak berdaya ? 


Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam ? Atau , apakah manusia yang dilahirkan dalam "ketiadaan" itu akan mati dalam "ketiadaan" pula ? 


Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka? Tentu tidaklah demikian. Allah telah berfirman, bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat.


Dengan demikian , jelaslah bahwa sesungguhnya yang dituju oleh semua manusia  adalah akhirat !


Cepat atau lambat , suka atau tidak suka , semua manusia pasti akan menuju kesana.






Apakah kalian mengira bahwa Kami 
menciptkan kalian sia-sia, dan bahwa 
sesungguhnya kalian tidak akan di-
kembalikan pada Kami ?
Al-Mu'minun (23) : 115


Apakah manusia mengira,
bahwa ia akan dibiarkan begitu saja 
(tanpa pertanggungjawaban ) ?
Al-Qiyamah (75) : 36


Sesungguhnya hari kiamat akan 
datang (dan) Aku merahasiakan (waktunya)
agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa
yang diusahakannya.
Thaahaa (20) : 15


Dan tidaklah kehidupan dunia ini me-
lainkan senda gurau dan main-main.Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang se-
benar-benarnya kehidupan, kalau 
mereka mengetahui.
Al-Ankabuut (29) : 64


Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak
 beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sedia-
kan bagi mereka azab yang pedih.
Al-Israa (17) : 10


Dan barangsiapa yang menghendaki kehi-
dupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min,
maka mereka itu orang-orang yang usaha-
nya dibalas dengan baik.
Al-Israa (17) : 19


Sumber : Buku Bahan Renunga Kalbu Ir.Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com






Senin, 03 Oktober 2016

HIDUP YANG SIA-SIA

Percuma hidup di dunia 
kalau di alam keabadian nanti
 tidak masuk surga



Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir.Permadi Alibasyah
Gambar:www.pixabay.com

Selasa, 20 September 2016

MOTTO :

" Orang Yang Bijak 
Adalah Orang Yang Dapat
 Belajar Dari Pengalaman Orang Lain"



Nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya :

"Wahai Anakku, 
bermusyawarahlah dengan orang yang berpengalaman
 karena ia memberimu dari pendapatnya sesuatu yang 
diperolehnya dengan mahal, 
sedangkan engkau mengambilnya secara cuma-cuma



Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu , Ir.Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com

Rabu, 14 September 2016

PROFIL PENYAJI BUKU RENUNGAN KALBU

Permadi Alibasyah lahir di Medan, 9 Juni 1955 dan merupakan anak ke 3 dari 11 bersaudara. Beliau adalah alumni Elektro ITB tahun 1975. Beliau mulai merenungi ajaran agama Islam sejak tahun 1976 dan kemudian mulai menuangkan buah pemikirannya pada lembaran kertas.

Pada mulanya, pemikirannya tersebut diperuntukan untuk bekal masa depan kedua anak perempuannya karena beliau sangat yakin akan pentingnya Islam dalam kehidupan mereka. Dalam perjalanannya, tulisannya seringkali diberikan kepada teman dan ustadz terkenal untuk “dikoreksi”, dan ternyata antusiasme mereka pun sangat tinggi. Mereka berpendapat bahwa ini adalah suatu pemikiran baru yang luar biasa dan mendorong beliau untuk menerbitkannya.

Pada awalnya pemikiran beliau dibukukan beberapa buah saja, karena permintaan dari teman-temannya. Kemudian, atas usaha keras dari beliau dan istrinya, akhirnya buku Bahan Renungan Kalbu dan Sentuhan Kalbu sukses diterbitkan.



PESAN SANG AYAH DALAM SEBUAH BUKU



Nanda yang Ayah sayangi,

Ayahmu ini bukanlah seorang ulama atau ahli bahasa arab, dan Ayah tidak pula menguasai 14 ilmu. Ayahmu hanyalah orang biasa, yang kebetulan saja ketika menyelami samudera Ilahiyyah, menemukan banyak mutiara. Nah, mutiara-mutiara inilah, yang ingin Ayah bagi-bagikan kepada kalian berdua khususnya, yaitu sebagai bekal dalam pengembaraan kalian di alam dunia ini.

Rasulullah saw.,manusia paling bijak dan paling mulia yang menjadi panutan kita, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori pernah bersabda:

Aku telah datang ke surga, maka terlihat olehku kebanyakan mereka adalah para fakir miskin; dan tatkala aku menjenguk ke neraka, terlihat olehku kebanyakan mereka adalah perempuan.

Insya Allah, buku “Renungan Kalbu” ini dapat bermanfaat sebagai tuntunan untuk memudahkan Nanda dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga di alam pengembaraan ini Nanda dapat hidup bahagia, dan diakhir perjalanan nanti terhindar dari kategori perempuan sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah saw di atas.

Adapun saat yang paling tepat untuk memahami apa yang dipaparkan dalam buku ini  yaitu pada waktu jiwa Nanda sedang “kasmaran” kepada Allah, karena pada saat seperti itulah Allah membuka hati Nanda untuk dapat menerima ayat-ayat-Nya (lihat surat At-Taghaabun ayat 11). 

Seorang sufi yang terkenal pada zamannya, yaitu Abdurrahman Ad-Darani (wafat tahun 830M) berkata, 

“Jika dunia telah menempati hatimu, maka akhirat akan pergi darimu.” 

Pengalaman Ayah juga telah membuktikan kebenaran akan hal itu, yaitu bila hati kita sedang didominasi oleh masalah-masalah keduniawian, maka hati ini akan buta sehingga tidak dapat memahami ayat-ayat-Nya. Dengan demikian bila jiwa atau hati Nanda sedang dikuasai oleh kentalnya masalah keduniawian, maka membaca buku ini tidaklah akan banyak manfaatnya.

Buku yang Ayah susun khususnya untuk Nanda berdua ini merupakan intisari, oleh karena itu harus dibaca perlahan-lahan, memahami makna kalimat demi kalimat, serta sesekali perlu berhenti untuk bertafakur mencoba menguraikannya sendiri agar terasa lebih meresap. Nanda tidak akan memperoleh manfaat yang berarti bila catatan ini dibaca sambil lalu seperti ketika membaca novel atau majalah. Pesan Ayah, bacalah catatan ini berulang-ulang, terutama ayat Al-Qur’annya, agar pemahaman Nanda semakin kaya dan dalam. Seorang ahli tafsir terkemuka dari Mesir, yaitu Ibrahim ibn ‘Umar Al-Biqa’iy, mengatakan:

“AYAT-AYAT AL QUR’AN ITU BAGAIKAN INTAN;
SETIAP SUDUTNYA MEMANCARKAN CAHAYA YANG BERBEDA DENGAN APA YANG TERPANCAR DARI SUDUT-SUDUT LAIN.
DAN TIDAK MUSTAHIL JIKA ANDA MEMPERSILAHKAN ORANG LAIN MEMANDANGNYA, MAKA IA AKAN MELIHAT LEBIH BANYAK KETIMBANG APA YANG ANDA LIHAT.”

Al-Qur’an diturunkan Allah bukanlah untuk diperlakukan sebagai syair, apalagi sebagai mantera. Tetapi ia merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
Sebagai pedoman hidup yang memuat resep-resep untuk dapat bahagia di dunia dan menempati surga di akhirat kelak, tentunya tempat Al-Qur’an bukan di lemari buku, tetapi ia harus diletakkan di dalam kalbu. Jangan biarkan kitab terindah ini tertutup, jadikanlah ia sebagai  satu-satunya sistem nilai yang mendasari sikap Nanda dalam menjalani kehidupan ini. Ayah sebenarnya tidak terlalu berharap Nanda mampu untuk mengamalkan semua isi yang terdapat pada “Renungan Kalbu” ini, tetapi yang Ayah inginkan Nanda dapat mengerti keseluruhannya, sehingga bila Nanda melakukan kesalahan dapat segera memperbaikinya.

Nabi kita yang mulia, Muhammad Rasulullah saw, dalam hal ini pernah bersabda:

“Semua anak Adam juru salah… dan sebaik-baiknya orang-orang salah itu adalah yang cepat bertaubat.”

Akhirnya Ayah berdoa kepada Allah SWT, semoga usaha Ayah ini tidaklah sia-sia belaka. Amiin.

Jakarta, 5 September 2005




Permadi Alibasyah


Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir.Permadi Alibasyah