Senin, 17 April 2017

TAFAKUR ( MERENUNG ) SEBAGAI JALAN MASUKNYA HIKMAH
Bagian 1


Adalah akan jauh lebih baik, bila kita menemukan kebenaran dari hasil perenungan sendiri daripada menerima suatu kebenaran dari orang lain ( pepatah Barat mengatakan : "I hear I forget,    I see I know, I do I understand" ).

Menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang berbeda. Menerima kebenaran cukuplah dengan bertaqlid      atau 'mengikut' , sedangkan menemukan kebenaran hanya akan diperoleh melalui perenungan demi perenungan yang mendalam.

Sudah menjadi sunatulah bahwa kebenaran yang ditemukan sendiri, ibarat mata air yang tak pernah kering; sedangkan kebenaran yang kita terima dari manusia, ibarat hujan di musim kemarau. Tentu saja yang dimaksud dengan kebenaran disini bukanlah kebenaran dalam konteks seperti dua tambah dua sama dengan empat, tetapi maksudnya adalah kebenaran yang sifatnya memberikan “pencerahan” bagi jiwa; misalnya saja, “perbuatan maksiat itu artinya sama dengan menanda tangani kontrak untuk tinggal di neraka.” 

Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a.  berkata :

"Janganlah kamu mengenal dan mengikuti
kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah ke-
benaran itu sendiri, niscaya kamu akan
mengetahui siapa tokohnya!”

Allah menganugerahkan al-hikmah
(kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an
dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehen-
daki.  Dan barangsiapa yang dianugerahi al-
hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak.  Dan tak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang berakal.
Al-Baqarah (2):269

Nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya : "Wahai anakku, sesungguhnya hikmah itu mendudukkan orang-orang miskin di tempat para raja."

Raja sebagai gambaran orang yang tidak pernah susah. Orang miskin pun dapat merasakan bahagia bila memiliki banyak hikmah. Hikmah menggambarkan “pencerahan” jiwa, yaitu yang akan berfungsi mengendalikan ketentraman. Sebagai contoh orang yang jiwanya telah tercerahkan bahwa segala yang menimpanya pasti berasal dari keputusan Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Adil, maka niscaya ia tidak akan mudah goyah bila ditimpa musibah. Ia akan pasrah, ketentramannya pun tidak terusik.

Seperti halnya rezeki, maka hikmah ini pun hanya diberikan Allah kepada orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya; yaitu yang mau menggunakan kemampuan akal dan rasa yang dimilikinya untuk bertafakur.   Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, "Tiada ilmu yang lebih baik daripada hasil tafakur."   Dan di dalam Al-Qur'an pun, ditemukan tidak kurang dari 130 kali perintah Allah untuk berpikir (antara lain pada surat Shaad:29, Adz-Dzariyaat:20-21, Yunus:24); serta kehinaan akan menimpa orang yang tidak mau berpikir (Al-Furqan:44, Al-A'raaf:179, Al-Mulk:10).

Tafakur sudah terbukti merupakan pelita hati, karena itu apabila ia tidak dihidupkan, maka hati akan gelap gulita. Orang yang serius merenungi tentang apa-apa yang telah Allah ciptakan; atau pun tentang sakratulmaut, siksa kubur, maupun kesulitan-kesulitan yang akan dijumpai di hari kiamat kelak, niscaya akan mendapatkan pencerahan jiwa. Demikian besar keutamaan bertafakur, sehingga Rasulullah pun pernah bersabda: "Bertafakur sejenak lebih baik daripada ibadah satu tahun".  Mengapa Rasulullah berwasiat demikian? Saya menduga, hal ini semata-mata karena beliau ingin menyelamatkan umatnya agar kelak tidak dijadikan untuk isi neraka, sebagaimana peringatan tegas Allah dalam Al-Qur'an :

Dan sesungguhnya Kami ciptakan
untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan
dari jin dan manusia. Mereka mempunyai
hati tapi tidak dipergunakan untuk memaha-
mi ( ayat-ayat Allah ), mempunyai mata tidak
 dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda
 kekuasaan Allah), mempunyai telinga tidak
 dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat
Allah).  Mereka itu seperti binatang ternak,
 bahkan lebih  sesat lagi.   Mereka itulah
orang-orang yang lalai.

Al-A'raaf (7):179



bersambung......................


Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir. Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com

Selasa, 04 April 2017

KEYAKINAN AKAN MATI

Pupuklah keyakinan bahwa cepat atau lambat kita semua  pasti akan mati. Hal ini penting, karena dengan modal keyakinan ini memudahkan kita untuk dapat merasakan adanya negeri akhirat. Selanjutnya kita akan dapat menerima, bahwa tempat kita di negeri akhirat itu tergantung dari bekal atau pahala yang kita bawa dari dunia. "Kesadaran" akan hal ini akan dapat memotivasi, bahwa kehidupan di dunia pada hakikatnya adalah semata-mata arena untuk mengumpulkan pahala, yaitu dengan jalan taat dan patuh melaksanakan "aturan main" yang ditentukan Allah dan Rasulullah, yang antara lain: mendirikan shalat, berserah diri, sabar waktu ditimpa musibah atau sabar waktu diperlakukan zalim oleh orang, meninggalkan perbantahan sedangkan kita merasa benar, berlaku baik, menolong orang yang sedang kesusahan, tidak iri hati / dengki, tidak takabur / sombong, tidak riya atau pamer, membantu dalam pekerjaan keluarga, tidak menyakiti hati orang dan tidak memutuskan persaudaraan, menjauhkan diri dari sikap amarah, berlaku bijaksana waktu disakiti orang, selalu memohon ampun bila terlanjur melakukan pembangkangan, tidak bergunjing atau membicarakan aib orang, tidak berburuk sangka, tidak berlaku zalim ( baik itu zalim tindakan, ucapan atau pun pikiran ), selalu senyum, memaafkan orang yang menganiayai kita, selalu ingat Allah  ( di waktu duduk, berjalan maupun berbaring ), mendamaikan permusuhan, memuliakan tamu, memenuhi undangan, menjenguk yang sakit, mengajak orang ke jalan Allah, memenuhi janji, berlaku baik terhadap tetangga, mengeluarkan zakat atau sedekah, tidak kikir, menjaga kebersihan, mendoakan orang tua, tidak durhaka kepada orang tua, berlaku lemah lembut kepada pembantu, menghantarkan jenazah, menuntut ilmu yang bermanfaat, mengamalkan ilmu, menyantuni anak yatim, bersyukur bila menerima nikmat~ Nya, melaksanakan haji, tidak melakukan syirik, bekerja, dan lain-lain sebagainya.


Untuk dapat memudahkan taat pada aturan main yang dibuat Allah dan  Rasulullah  saw., kita   harus  memiliki  fundamen-fundamen yang mantap, yaitu berupa pengertian yang mendalam mengenai konsepsi-konsepsi Allah tentang manusia. Jangan mengharapkan pengertian ini datang secara instant, karena pengertian ini hanya  akan dikuasai setelah melalui proses pencarian yang sungguh-sungguh [Al-Israa:19]. Bila kita  tidak pernah “menghidupkan” proses ini, maka kita tidak akan dapat mengerti secara haqul yaqin konsepsi-konsepsi Allah terhadap manusia. Semakin dini proses ini dihidupkan, maka semakin lengkap dan dalam pengertian yang akan diperoleh. Oleh karena itu, bila kita mulai menghidupkan proses ini di usia 60-an misalnya, maka dengan umur yang tersisa, akan sedikit sekali pengertian yang dapat diperoleh. Dan ini berarti semakin sulit pula kita dapat taat pada keinginan-keinginan~Nya.


Fakta sejarah menunjukan, potensi mendapatkan “pencerahan” paling kuat terdapat pada usia muda, bukan pada usia lanjut. Pemeluk dan pengikut setia para nabi pun pada awalnya adalah para pemuda. Tatkala nabi Musa as. mengajak kaumnya untuk menyembah Allah, maka hanya para pemuda sajalah yang mau mengikuti seruannya [Yunus:83]. Begitu juga pada awal Rasulullah saw. menyampaikan risalah Islamnya, para pemudalah yang lebih dulu menyambutnya. Pemuda-pemuda itu antara lain Umar bin Khatab, Sa'ad bin Abi Waqash, Mua'dz bin Jabal, Abdullah bin Mash'ud, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain yang rata-rata baru menginjak usia 20 tahun. Adapun Abu Bakar Ash-Shiddiq saat itu usianya belum mencapai 40 tahun. Demikian pula ketika masyarakat keranjingan menyembah berhala, tampil pula pemuda Ibrahim yang menghancurkan berhala yang mereka sembah [Al-Anbiyaa':60]. Kita pun mengenal sikap teguh para pemuda yang menentang kompromi antara kebatilan dan kebenaran dalam kisah para penghuni gua (ashabul kahfi); yang pada akhirnya mereka ditidurkan Allah selama 309 tahun [Al-Kahfi:25]. Begitu juga para nabi seperti nabi Muhammad saw., Yusuf as, Isa as., dan lain-lainnya; mereka menjadi nabi dalam usia muda. Hal ini semua menunjukan bahwa potensi untuk menangkap “pencerahan” itu boleh jadi paling kuat terdapat pada usia muda, bukan setelah tua. Sungguh benar ungkapan bijak yang mengatakan, "Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun namun belum juga tergerak mempelajari Islam, niscaya ia akan mengalami kesulitan yang luar biasa untuk dapat menjadi Muslim yang baik."

Percuma di dunia menjadi orang terpandang,

kalau di tempat tujuan akhir kelak tidak masuk surga!



Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir.Permadi Alibasyah