Adalah akan jauh lebih baik, bila kita menemukan kebenaran
dari hasil perenungan sendiri daripada menerima suatu kebenaran dari orang
lain ( pepatah Barat mengatakan : "I hear I forget, I see I know, I do I understand" ).
Menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu
yang berbeda. Menerima kebenaran cukuplah dengan bertaqlid atau 'mengikut' , sedangkan menemukan
kebenaran hanya akan diperoleh melalui perenungan demi perenungan yang
mendalam.
Sudah menjadi
sunatulah bahwa kebenaran yang ditemukan sendiri, ibarat mata air yang tak
pernah kering; sedangkan kebenaran yang kita terima dari manusia, ibarat hujan
di musim kemarau. Tentu saja yang dimaksud dengan kebenaran disini bukanlah
kebenaran dalam konteks seperti dua tambah dua sama dengan empat, tetapi
maksudnya adalah kebenaran yang sifatnya memberikan “pencerahan” bagi jiwa;
misalnya saja, “perbuatan maksiat itu artinya sama dengan menanda tangani
kontrak untuk tinggal di neraka.”
Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata :
"Janganlah kamu mengenal dan mengikuti
kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah ke-
benaran itu sendiri, niscaya kamu akan
mengetahui siapa tokohnya!”
Allah menganugerahkan al-hikmah
(kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an
dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehen-
daki. Dan barangsiapa yang
dianugerahi al-
hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan tak ada
yang
dapat mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang berakal.
Al-Baqarah (2):269
Nasihat Luqman Al
Hakim kepada anaknya : "Wahai
anakku, sesungguhnya hikmah itu mendudukkan orang-orang miskin di tempat para
raja."
Raja sebagai gambaran orang yang
tidak pernah susah. Orang miskin pun dapat merasakan bahagia bila memiliki
banyak hikmah. Hikmah menggambarkan “pencerahan” jiwa, yaitu yang akan
berfungsi mengendalikan ketentraman. Sebagai contoh orang yang jiwanya telah
tercerahkan bahwa segala yang menimpanya pasti berasal dari keputusan Allah
Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Adil, maka niscaya ia tidak akan
mudah goyah bila ditimpa musibah. Ia akan pasrah, ketentramannya pun tidak
terusik.
Seperti halnya rezeki, maka
hikmah ini pun hanya diberikan Allah kepada orang-orang yang berusaha untuk
mendapatkannya; yaitu yang mau menggunakan kemampuan akal dan rasa yang
dimilikinya untuk bertafakur. Sayidina
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, "Tiada
ilmu yang lebih baik daripada hasil tafakur." Dan di dalam Al-Qur'an pun, ditemukan tidak
kurang dari 130 kali perintah Allah untuk berpikir (antara lain pada surat Shaad:29,
Adz-Dzariyaat:20-21, Yunus:24); serta kehinaan akan menimpa orang yang tidak
mau berpikir (Al-Furqan:44, Al-A'raaf:179, Al-Mulk:10).
Tafakur sudah terbukti merupakan
pelita hati, karena itu apabila ia tidak dihidupkan, maka hati akan gelap
gulita. Orang yang serius merenungi tentang apa-apa yang telah Allah ciptakan;
atau pun tentang sakratulmaut, siksa kubur, maupun kesulitan-kesulitan yang
akan dijumpai di hari kiamat kelak, niscaya akan mendapatkan pencerahan jiwa.
Demikian besar keutamaan bertafakur, sehingga Rasulullah pun pernah bersabda: "Bertafakur sejenak lebih baik daripada
ibadah satu tahun". Mengapa
Rasulullah berwasiat demikian? Saya menduga, hal ini semata-mata karena beliau
ingin menyelamatkan umatnya agar kelak tidak dijadikan untuk isi neraka,
sebagaimana peringatan tegas Allah dalam Al-Qur'an :
Dan sesungguhnya Kami ciptakan
untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan
dari jin dan manusia. Mereka mempunyai
hati tapi tidak dipergunakan untuk memaha-
mi ( ayat-ayat Allah ), mempunyai mata tidak
dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda
kekuasaan Allah), mempunyai
telinga tidak
dipergunakan untuk mendengar
(ayat-ayat
Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak,
bahkan lebih
sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang
lalai.
Al-A'raaf (7):179
bersambung......................
Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir. Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com